Iklan

terkini

Cahaya Baru di Tengah Kabut: Pengrajin Mebel Kolaka Temukan Harapan Hidup Lewat Operasi Gratis PT Vale

9/27/25, 14:39 WIB Last Updated 2025-09-27T07:39:09Z
Syarifuddin (53) dengan tangan terampilnya mengolah kayu menjadi barang bernilai jual tinggi di bengkel mebel miliknya di Poros Kelurahan Lamekongga, Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Rabu (23/7/2025). 


Di sudut-sudut sederhana Poros Kelurahan Lamekongga, Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, sebuah bengkel mebel kecil menjadi saksi bisu perjuangan dan kebangkitan. Di sana, tangan-tangan terampil Syarifuddin, seorang pengrajin kayu berusia 53 tahun, kini kembali menari lincah mengukir pola-pola indah pada potongan kayu jati.

 

Dulu, gerakan itu terhenti total, terperangkap dalam kabut penglihatan yang mengancam seluruh hidupnya.

 

Hari ini, bengkel itu hidup kembali, penuh pesanan dan tawa keluarga, berkat sebuah program operasi katarak gratis dari PT Vale Indonesia Tbk melalui Indonesia Growth Project (IG Pomalaa).

 

Bayangkan bangun setiap pagi hanya untuk menghadapi dunia yang semakin samar, seperti berjalan di balik tirai kabut tebal yang tak kunjung sirna.

 

Itulah realitas pahit yang dialami Syarifuddin, lahir pada 4 Januari 1972, seorang ayah dari empat anak yang bergantung pada keahlian tangannya untuk menghidupi keluarga.

 

Katarak, penyakit yang menyerang matanya sejak sebelum pandemi COVID-19, nyaris merenggut mata pencahariannya. Sebagai pengrajin mebel yang menuntut ketelitian visual tinggi, gangguan ini bukan sekadar masalah kesehatan, ia adalah ancaman eksistensial bagi keluarganya.

 

"Saya dulu hampir tidak bisa melihat apa-apa, Pak. Awalnya hanya samar-samar, seperti dunia dilihat dari balik kaca berembun. Lama-kelamaan, kabut itu menebal, sampai saya tak bisa membedakan bentuk atau warna lagi," cerita Syarifuddin dengan suara penuh syukur, saat kami bertemu di bengkelnya pada Rabu, 23 Juli 2025.

 

Wajahnya yang dulu muram kini berbinar, mata sipit bahagia, dan senyum lebar yang jarang terlihat sejak masa sulit itu.

 

Katarak bukan penyakit langka di Indonesia. Menurut data Kementerian Kesehatan, sekitar satu juta orang di negeri ini bergulat dengan kondisi ini, yang menyebabkan penglihatan buram dan kehilangan ketajaman visual.

 

Bagi Syarifuddin, dampaknya lebih dari sekadar ketidaknyamanan.

 

Bengkel mebelnya, yang selama bertahun-tahun menjadi sumber nafkah utama, hampir lumpuh.

 

Pesanan menumpuk tak tersentuh, tagihan menunggak, dan anak-anaknya mulai merasakan beban ekonomi keluarga.

 

"Pengobatan itu mahal sekali. Saya dengar butuh sekitar Rp8 juta untuk operasi saja, belum lagi biaya obat dan perawatan lanjutan. Kami mana punya uang segitu? Saya hampir menyerah total," ungkap Syarifuddin, mengenang hari-hari kelam ketika ia terpaksa menutup bengkel dan bergantung pada bantuan tetangga.

 

Putus asa itu semakin dalam karena akses layanan kesehatan di daerah pedesaan seperti Kolaka terbatas, dan biaya transportasi ke kota besar seperti Kendari atau Makassar menambah beban.

 

Titik balik datang secara tak terduga, seperti sinar matahari yang menerobos awan gelap. Seorang pelanggan lama, yang tahu perjuangan Syarifuddin, memberi kabar gembira tentang program operasi katarak gratis dari PT Vale Indonesia melalui IGP Pomalaa.

 

"Kebetulan ada teman yang beri tahu bahwa PT Vale akan gelar operasi katarak gratis. Saya langsung daftar, dan Alhamdulillah, saya lolos seleksi," kata Syarifuddin, matanya berbinar saat menceritakan proses itu.

 

Seleksi memang ketat: dari ratusan pendaftar di berbagai kecamatan Kolaka, hanya 20 orang yang dipilih, prioritas diberikan kepada yang paling membutuhkan dan tidak mampu secara finansial.

 

Prosesnya dirancang komprehensif, mulai dari screening awal hingga perawatan pasca-operasi. Syarifuddin menjalani pemeriksaan pra-operasi selama seminggu penuh di fasilitas medis mitra program. Operasi itu sendiri berlangsung singkat tapi efektif, diikuti kunjungan kontrol setiap tiga hari sekali selama tiga bulan.

 

Semuanya dari biaya operasi, obat-obatan, hingga transportasi ditanggung penuh tanpa biaya sepeser pun.

 

"Bukan hanya operasi yang gratis, tapi juga pengecekan pasca-operasi tiap tiga hari selama tiga bulan, lengkap dengan obat-obatnya. Saya merasa seperti mimpi," ujar Syarifuddin antusias, sambil menunjukkan alat ukir kayunya yang kini kembali tajam di tangannya.

 

Manfaatnya langsung terasa: dulu, ia kesulitan melihat jelas bahkan pada jarak satu meter, tapi kini penglihatannya jernih seperti remaja.

 

"Manfaatnya sangat terasa sekali. Bayangkan, dulu satu meter saja kabur, sekarang Alhamdulillah saya bisa lihat detail kecil-kecil di kayu ini dengan sempurna," lanjutnya, sambil mengukir pola bunga pada sebuah meja pesanan.

 

Kini, bengkel Syarifuddin ramai kembali. Pelanggan berdatangan, memesan furnitur custom dari kayu lokal seperti mahoni dan jati.

 

Roda ekonomi keluarga berputar lancar: anak-anaknya bisa sekolah tanpa khawatir, dan istri Syarifuddin tak lagi harus bekerja tambahan.

 

"Sekarang hidup lebih sejahtera. Saya bisa produksi lebih banyak, dan keluarga bahagia," katanya. Harapannya sederhana tapi mendalam: "Mudah-mudahan program seperti ini terus ada, supaya orang-orang miskin seperti saya dulu bisa terbantu juga," tukasnya penuh harapan.

 

Program ini bukan sekadar bantuan medis satu kali jalan. Ia merupakan bagian integral dari komitmen PT Vale Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB, khususnya Pilar 3: Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik.

 

Sebagai perusahaan pertambangan nikel terkemuka, PT Vale tak hanya fokus pada operasional, tapi juga tanggung jawab sosial di wilayah operasinya, termasuk Kolaka dan Pomalaa.

 

Inisiatif IGP Pomalaa dirancang untuk mendukung masyarakat lokal, dengan program kesehatan sebagai prioritas utama.

 

Head of Project IGP Pomalaa, Mohammad Rifai, menekankan pendekatan holistik program ini.

 

"Ini program pertama kami, tapi kami rencanakan jadi agenda tahunan. Kami pilih 20 orang dari setiap kecamatan, dengan seleksi ketat untuk yang benar-benar butuh dan tak mampu. Dari screening awal sampai follow-up, semuanya kami tanggung," tegas Rifai dalam wawancara eksklusif.

 

Ia menambahkan bahwa program ini lahir dari pemahaman mendalam akan tantangan kesehatan di daerah terpencil, di mana akses ke spesialis mata sering kali terhambat oleh jarak dan biaya.

 

Kolaborasi dengan tenaga medis lokal menjadi kunci sukses. Direktur Klinik Mata Kolaka, dr. Muhammad Rizal Aziz, yang terlibat langsung dalam pelaksanaan, memberikan apresiasi tinggi atas inisiatif ini.

 

"Program PT Vale sangat membantu masyarakat kami. Kami harap kerjasama ini ditingkatkan, dari 20 pasien jadi ratusan. Ini bisa ubah skala bantuan secara signifikan," katanya dr. Aziz.

 

"Kami ingin program ini konsisten dan berkelanjutan, terus-menerus, agar lebih banyak penderita katarak di pelosok bisa tertolong. Katarak mudah diobati jika dideteksi dini, tapi tanpa dukungan seperti ini, banyak yang terabaikan," tambah Aziz

 

Dampak program ini meluas di luar Syarifuddin. Dari 20 penerima tahun pertama, hampir semuanya melaporkan peningkatan kualitas hidup mulai dari pekerja harian yang kembali bekerja, hingga ibu rumah tangga yang kini bisa mengurus anak dengan lebih baik.

 

Di Kolaka, di mana tingkat kemiskinan masih tinggi dan akses kesehatan terbatas, inisiatif seperti ini menjadi penyelamat.

 

Data dari Dinas Kesehatan setempat menunjukkan bahwa katarak menyebabkan ribuan kasus kebutaan yang bisa dicegah setiap tahun, tapi kurangnya program serupa membuat banyak korban terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

 

Kisah Syarifuddin adalah cerminan harapan di tengah tantangan. Ia bukan hanya kembali melihat dunia dengan jernih, tapi juga membangun masa depan yang lebih cerah untuk keluarganya.

 

"Saat kami meninggalkan bengkelnya, Syarifuddin masih asyik bekerja, tangannya tak lagi ragu," lanjutnya.

 

"Terima kasih PT Vale, ini seperti cahaya baru dalam hidup saya," katanya sebagai penutup.

 

Program tahunan PT Vale diharapkan terus berkembang, membawa terang bagi ribuan penderita katarak di seluruh Indonesia.

 

Di era di mana korporasi semakin diuji tanggung jawab sosialnya, inisiatif seperti ini membuktikan bahwa bisnis bisa menjadi katalisator perubahan positif. Bagi masyarakat Kolaka, kabut katarak bukan lagi akhir cerita, ia adalah awal dari kebangkitan. (IVK)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Cahaya Baru di Tengah Kabut: Pengrajin Mebel Kolaka Temukan Harapan Hidup Lewat Operasi Gratis PT Vale

Terkini

Topik Populer

Iklan