
Di sudut-sudut sederhana Poros Kelurahan Lamekongga, Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, sebuah bengkel mebel kecil menjadi saksi bisu perjuangan dan kebangkitan. Di sana, tangan-tangan terampil Syarifuddin, seorang pengrajin kayu berusia 53 tahun, kini kembali menari lincah mengukir pola-pola indah pada potongan kayu jati.
Dulu, gerakan itu terhenti total, terperangkap dalam kabut
penglihatan yang mengancam seluruh hidupnya.
Hari ini, bengkel itu hidup kembali, penuh pesanan dan tawa
keluarga, berkat sebuah program operasi katarak gratis dari PT Vale Indonesia
Tbk melalui Indonesia Growth Project (IG Pomalaa).
Bayangkan bangun setiap pagi hanya untuk menghadapi dunia
yang semakin samar, seperti berjalan di balik tirai kabut tebal yang tak
kunjung sirna.
Itulah realitas pahit yang dialami Syarifuddin, lahir pada 4
Januari 1972, seorang ayah dari empat anak yang bergantung pada keahlian
tangannya untuk menghidupi keluarga.
Katarak, penyakit yang menyerang matanya sejak sebelum
pandemi COVID-19, nyaris merenggut mata pencahariannya. Sebagai pengrajin mebel
yang menuntut ketelitian visual tinggi, gangguan ini bukan sekadar masalah
kesehatan, ia adalah ancaman eksistensial bagi keluarganya.
"Saya dulu hampir tidak bisa melihat apa-apa, Pak.
Awalnya hanya samar-samar, seperti dunia dilihat dari balik kaca berembun.
Lama-kelamaan, kabut itu menebal, sampai saya tak bisa membedakan bentuk atau
warna lagi," cerita Syarifuddin dengan suara penuh syukur, saat kami
bertemu di bengkelnya pada Rabu, 23 Juli 2025.
Wajahnya yang dulu muram kini berbinar, mata sipit bahagia,
dan senyum lebar yang jarang terlihat sejak masa sulit itu.
Katarak bukan penyakit langka di Indonesia. Menurut data
Kementerian Kesehatan, sekitar satu juta orang di negeri ini bergulat dengan
kondisi ini, yang menyebabkan penglihatan buram dan kehilangan ketajaman
visual.
Bagi Syarifuddin, dampaknya lebih dari sekadar
ketidaknyamanan.
Bengkel mebelnya, yang selama bertahun-tahun menjadi sumber
nafkah utama, hampir lumpuh.
Pesanan menumpuk tak tersentuh, tagihan menunggak, dan
anak-anaknya mulai merasakan beban ekonomi keluarga.
"Pengobatan itu mahal sekali. Saya dengar butuh sekitar
Rp8 juta untuk operasi saja, belum lagi biaya obat dan perawatan lanjutan. Kami
mana punya uang segitu? Saya hampir menyerah total," ungkap Syarifuddin,
mengenang hari-hari kelam ketika ia terpaksa menutup bengkel dan bergantung
pada bantuan tetangga.
Putus asa itu semakin dalam karena akses layanan kesehatan
di daerah pedesaan seperti Kolaka terbatas, dan biaya transportasi ke kota
besar seperti Kendari atau Makassar menambah beban.
Titik balik datang secara tak terduga, seperti sinar
matahari yang menerobos awan gelap. Seorang pelanggan lama, yang tahu
perjuangan Syarifuddin, memberi kabar gembira tentang program operasi katarak
gratis dari PT Vale Indonesia melalui IGP Pomalaa.
"Kebetulan ada teman yang beri tahu bahwa PT Vale akan
gelar operasi katarak gratis. Saya langsung daftar, dan Alhamdulillah, saya
lolos seleksi," kata Syarifuddin, matanya berbinar saat menceritakan
proses itu.
Seleksi memang ketat: dari ratusan pendaftar di berbagai
kecamatan Kolaka, hanya 20 orang yang dipilih, prioritas diberikan kepada yang
paling membutuhkan dan tidak mampu secara finansial.
Prosesnya dirancang komprehensif, mulai dari screening awal
hingga perawatan pasca-operasi. Syarifuddin menjalani pemeriksaan pra-operasi
selama seminggu penuh di fasilitas medis mitra program. Operasi itu sendiri
berlangsung singkat tapi efektif, diikuti kunjungan kontrol setiap tiga hari
sekali selama tiga bulan.
Semuanya dari biaya operasi, obat-obatan, hingga
transportasi ditanggung penuh tanpa biaya sepeser pun.
"Bukan hanya operasi yang gratis, tapi juga pengecekan
pasca-operasi tiap tiga hari selama tiga bulan, lengkap dengan obat-obatnya.
Saya merasa seperti mimpi," ujar Syarifuddin antusias, sambil menunjukkan
alat ukir kayunya yang kini kembali tajam di tangannya.
Manfaatnya langsung terasa: dulu, ia kesulitan melihat jelas
bahkan pada jarak satu meter, tapi kini penglihatannya jernih seperti remaja.
"Manfaatnya sangat terasa sekali. Bayangkan, dulu satu
meter saja kabur, sekarang Alhamdulillah saya bisa lihat detail kecil-kecil di
kayu ini dengan sempurna," lanjutnya, sambil mengukir pola bunga pada
sebuah meja pesanan.
Kini, bengkel Syarifuddin ramai kembali. Pelanggan
berdatangan, memesan furnitur custom dari kayu lokal seperti mahoni dan jati.
Roda ekonomi keluarga berputar lancar: anak-anaknya bisa
sekolah tanpa khawatir, dan istri Syarifuddin tak lagi harus bekerja tambahan.
"Sekarang hidup lebih sejahtera. Saya bisa produksi
lebih banyak, dan keluarga bahagia," katanya. Harapannya sederhana tapi
mendalam: "Mudah-mudahan program seperti ini terus ada, supaya orang-orang
miskin seperti saya dulu bisa terbantu juga," tukasnya penuh harapan.
Program ini bukan sekadar bantuan medis satu kali jalan. Ia
merupakan bagian integral dari komitmen PT Vale Indonesia terhadap Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB, khususnya Pilar 3: Kesehatan dan
Kesejahteraan yang Baik.
Sebagai perusahaan pertambangan nikel terkemuka, PT Vale tak
hanya fokus pada operasional, tapi juga tanggung jawab sosial di wilayah
operasinya, termasuk Kolaka dan Pomalaa.
Inisiatif IGP Pomalaa dirancang untuk mendukung masyarakat
lokal, dengan program kesehatan sebagai prioritas utama.
Head of Project IGP Pomalaa, Mohammad Rifai, menekankan
pendekatan holistik program ini.
"Ini program pertama kami, tapi kami rencanakan jadi
agenda tahunan. Kami pilih 20 orang dari setiap kecamatan, dengan seleksi ketat
untuk yang benar-benar butuh dan tak mampu. Dari screening awal sampai
follow-up, semuanya kami tanggung," tegas Rifai dalam wawancara eksklusif.
Ia menambahkan bahwa program ini lahir dari pemahaman
mendalam akan tantangan kesehatan di daerah terpencil, di mana akses ke spesialis
mata sering kali terhambat oleh jarak dan biaya.
Kolaborasi dengan tenaga medis lokal menjadi kunci sukses.
Direktur Klinik Mata Kolaka, dr. Muhammad Rizal Aziz, yang terlibat langsung
dalam pelaksanaan, memberikan apresiasi tinggi atas inisiatif ini.
"Program PT Vale sangat membantu masyarakat kami. Kami
harap kerjasama ini ditingkatkan, dari 20 pasien jadi ratusan. Ini bisa ubah
skala bantuan secara signifikan," katanya dr. Aziz.
"Kami ingin program ini konsisten dan berkelanjutan,
terus-menerus, agar lebih banyak penderita katarak di pelosok bisa tertolong.
Katarak mudah diobati jika dideteksi dini, tapi tanpa dukungan seperti ini,
banyak yang terabaikan," tambah Aziz
Dampak program ini meluas di luar Syarifuddin. Dari 20
penerima tahun pertama, hampir semuanya melaporkan peningkatan kualitas hidup
mulai dari pekerja harian yang kembali bekerja, hingga ibu rumah tangga yang
kini bisa mengurus anak dengan lebih baik.
Di Kolaka, di mana tingkat kemiskinan masih tinggi dan akses
kesehatan terbatas, inisiatif seperti ini menjadi penyelamat.
Data dari Dinas Kesehatan setempat menunjukkan bahwa katarak
menyebabkan ribuan kasus kebutaan yang bisa dicegah setiap tahun, tapi
kurangnya program serupa membuat banyak korban terjebak dalam lingkaran
kemiskinan.
Kisah Syarifuddin adalah cerminan harapan di tengah
tantangan. Ia bukan hanya kembali melihat dunia dengan jernih, tapi juga
membangun masa depan yang lebih cerah untuk keluarganya.
"Saat kami meninggalkan bengkelnya, Syarifuddin masih
asyik bekerja, tangannya tak lagi ragu," lanjutnya.
"Terima kasih PT Vale, ini seperti cahaya baru dalam
hidup saya," katanya sebagai penutup.
Program tahunan PT Vale diharapkan terus berkembang, membawa
terang bagi ribuan penderita katarak di seluruh Indonesia.