
Pembakaran liar di Kawasan Hutan Lindung jadi salah satu polemik penyebab rusaknya ekosistem alam.
Aktifitas ilegal semacam itu dapat membuat berbagai keanekaragaman hayati kehilangan habitatnya.
Seperti halnya yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Blok Tanamalia, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawsi Selatan (Sulsel), tepatnya di Kawasan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) PT Vale Indonesia.
Pembakaran hutan secara ilegal seperti itu mengancam kerusakan yang terjadi pada ekosistem kawasan tersebut.
![]() |
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Larona Pasi Nikmad Ali. |
Dilansir dari antaranews.com, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Larona Pasi Nikmad Ali, Rabu, mengatakan bahwa jika terus berlanjut, aktivitas ilegal ini tidak hanya akan merusak keanekaragaman hayati, tetapi juga mengganggu fungsi vital hutan lindung sebagai penyuplai air dan penjaga kualitas tanah.
Ia menyampaikan jika terdapat video yang beredar luas menunjukkan sekelompok orang secara terang-terangan menebang pohon, memotong batangnya, dan diduga menggunakan kayu tersebut sebagai tiang untuk tanaman merica di kebun yang mereka buka di kawasan hutan lindung tersebut.
Ia mengakui bahwa perambahan hutan sebagian besar dilakukan oleh warga yang membuka kebun lada, dan menegaskan bahwa tindakan tersebut ilegal.
"Ini jelas pelanggaran hukum, dan jelas akan ada sanksinya. Kami sudah berkali-kali menyampaikan hal itu," kata Pasi.
Menurut Pasi, Blok Tanamalia sendiri berada dalam wilayah konsesi seluas sekitar 70 ribu hektare yang dikelola oleh PT Vale Indonesia. Ironisnya, banyak wilayah konsesi tersebut telah dirambah oleh para pelaku untuk perkebunan merica.
Pasi menegaskan bahwa masalah ini harus segera diselesaikan dengan tindakan tegas dari Balai Gakkum (Penegakan Hukum) Kehutanan Sulawesi. Ia juga mendesak PT Vale Indonesia selaku pemegang konsesi untuk mengambil peran aktif.
"PT Vale Indonesia harus ikut mengambil peran aktif, untuk membentuk tim perlindungan dan pengamanan hutan di wilayah konsesinya. Itu sudah kami surati secara resmi," ujarnya.
Keterbatasan Patroli dan Dampak Ekologis yang Mengkhawatirkan
Pasi mengakui bahwa pihaknya, sebagai KPH Larona, menghadapi keterbatasan dalam mengoptimalkan pengawasan perambahan hutan.
"Kita patroli, tapi terbatas. Karena cuma empat orang personel polisi hutan, dengan total wilayah kerja seluas 127 ribu hektare Kawasan Larona," terangnya.
Meskipun demikian, Pasi mengaku telah berupaya semaksimal mungkin untuk menekan laju perambahan. Upaya tersebut meliputi patroli rutin mingguan, pemasangan papan imbauan, hingga menyurati aparat desa.
"Kami ini sebagai fasilitator, jika ada perambahan, tugas kami melaporkan ke Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," sebut Pasi.
Dampak ekologis dari perambahan hutan ini sangat mengkhawatirkan, mulai dari penurunan kualitas tanah hingga hilangnya ketersediaan air akibat berkurangnya vegetasi hutan yang berfungsi sebagai penyerap air dan penyangga keseimbangan ekosistem.
"Kami selalu sampaikan ke masyarakat, jangan menebang hutan. Kita juga memasang plat-plat berisi peringatan di sejumlah titik hingga menyurati kepala desa," jelasnya..
Dugaan Jual Beli Lahan Ilegal Memperparah Situasi
Situasi perambahan hutan lindung di Tanamalia semakin diperparah dengan adanya indikasi jual beli lahan ilegal. Beberapa warga yang melakukan perambahan diduga terlibat dalam praktik jual beli lahan ini, menambah kompleksitas masalah yang membutuhkan penanganan komprehensif dari berbagai pihak terkait. (rls)